Perubahan Pola Komunikasi dalam Masyarakat Digital: Analisis Kritis terhadap Banjir Informasi dan Misinformasi di Indonesia
Pendahuluan: Informasi Lebih Banyak, Pemahaman Tidak Bertambah
Dalam dekade terakhir, masyarakat Indonesia mengalami transformasi besar dalam cara mengakses dan membagikan informasi.
Jika media massa dulu menjadi sumber utama, kini komunikasi publik dikuasai oleh ruang digital — terutama platform seperti TikTok, WhatsApp, Instagram, YouTube, dan X (Twitter).
Namun, seperti yang ditegaskan Dr. Henri Subiakto, ahli komunikasi dari Universitas Airlangga, “digitalisasi membuat kita jauh lebih terhubung, tetapi tidak selalu lebih terinformasi.”
Dengan kata lain, masyarakat masuk ke era informatif tapi tidak reflektif.
Artikel ini mengulas secara kritis bagaimana perubahan komunikasi publik di Indonesia justru memunculkan tantangan baru: misinformasi, banjir informasi (information overload), dan polarisasi akibat filter bubble.
Ledakan Media Digital dan Perubahan Cara Masyarakat Mendapatkan Informasi
Menurut riset We Are Social Indonesia 2024, 78% masyarakat Indonesia mendapatkan berita dari:
- media sosial (TikTok, Instagram, X)
- pesan instan (WhatsApp, Telegram)
- influencer atau konten kreator
Sementara media arus utama seperti televisi dan koran hanya menjadi pilihan sekunder.
Perubahan ini memunculkan tren baru:
- Orang tidak lagi mencari berita — berita yang mencari mereka.
Algoritma menampilkan konten berdasarkan preferensi pengguna. - Kecepatan menjadi prioritas, bukan akurasi.
Banyak informasi beredar sebelum diverifikasi. - Pengguna menjadi penyebar sekaligus konsumen informasi.
Setiap orang bisa menjadi “media”.
Fenomena ini menggeser komunikasi publik dari yang sebelumnya terstruktur menjadi sangat cair, viral, dan tidak terkontrol.
Misinformasi: Masalah Utama Komunikasi Publik Digital Indonesia
1. Misinformasi Menjadi Normal Baru
Menurut laporan Kominfo 2024, selama periode tahun politik saja terdapat lebih dari 1.200 hoaks politik dan 9.000 hoaks umum yang tersebar di media sosial dan grup WhatsApp.
Mayoritas hoaks menyangkut:
- isu agama dan etnis
- politik identitas
- kesehatan (termasuk kesehatan mental & vaksin)
- kriminalitas
- ekonomi
Misinformasi tidak hanya viral karena isinya provokatif, tetapi juga karena:
- penyebaran cepat melalui grup keluarga
- kurangnya literasi digital kritis
- kepercayaan pada figur non-ahli seperti influencer
2. Konten Emosional Lebih Menang daripada Konten Faktual
Studi MIT Media Lab menunjukkan bahwa informasi palsu 70% lebih cepat viral daripada informasi faktual.
Kondisi ini terjadi juga di Indonesia, terutama pada isu sensitif seperti agama dan politik.
Fenomena Banjir Informasi (Information Overload)
Masyarakat digital kini menghadapi volume informasi yang melampaui kapasitas kognitif manusia.
Sebagian besar masyarakat tidak punya waktu atau keterampilan untuk menyaring informasi secara mendalam.
Menurut riset BRIN (2024):
- 54% masyarakat Indonesia merasa kewalahan dengan jumlah informasi di media sosial
- 41% mengaku sulit membedakan berita faktual dan opini
- 67% cenderung berbagi berita hanya berdasarkan judul
Kondisi ini membuat publik rentan terhadap narasi manipulatif, khususnya yang dikemas dengan gaya visual menarik (meme, potongan video pendek, caption emosional).
Filter Bubble: Ketika Algoritma Menyempitkan Pandangan Publik
Filter bubble adalah kondisi ketika seseorang hanya melihat informasi yang sesuai preferensinya — menciptakan ruang informasi yang homogen.
Di Indonesia, fenomena ini sangat kuat karena:
- algoritma TikTok, Instagram, dan YouTube sangat agresif mempersonalisasi konten
- masyarakat cenderung memblokir atau menghindari pandangan berbeda
- grup WhatsApp keluarga/persaudaraan homogen secara identitas
Akibatnya:
- opini masyarakat terbelah menjadi klaster kecil
- pandangan politik mengeras karena tidak pernah ditantang
- dialog publik yang sehat semakin sulit terjadi
Menurut Prof. Novi Kurnia (UGM), “filter bubble membuat masyarakat hidup dalam kenyamanan palsu, seolah semua orang berpikir sama.”
Fragmentasi Informasi dan Krisis Otoritas Publik
Dulu, media arus utama berfungsi sebagai “penjaga gerbang informasi”.
Namun sekarang, masyarakat lebih mempercayai:
- teman grup WhatsApp
- seleb TikTok
- akun anonim
- potongan video tanpa konteks
Riset Katadata Insight Center 2024 menemukan:
- Kepercayaan publik terhadap media mainstream turun menjadi 49%
- Sementara kepercayaan pada influencer mencapai 62%
Muncul krisis otoritas di mana:
- institusi negara kalah cepat dari rumor digital
- media kalah pengaruh dari akun seleb
- opini publik dibentuk oleh viralitas, bukan validitas
Perubahan Pola Komunikasi: Dari Dialog ke Reaksi
Perubahan besar lainnya adalah masyarakat kini:
- lebih reaktif
- lebih impulsif
- lebih cepat mengambil kesimpulan
- kurang melakukan verifikasi
Ini terjadi karena:
- notif & algoritma menciptakan reaksi cepat
- komunikasi digital bersifat instan
- sistem reward (likes, share) mendorong perilaku impulsif
- kecepatan dianggap lebih penting daripada kedalaman
Dampaknya, kualitas komunikasi publik turun drastis.
Dampak Jangka Panjang terhadap Kualitas Ruang Publik Indonesia
- Degradasi diskusi publik
Percakapan menjadi dangkal dan emosional. - Meningkatnya polarisasi sosial
Kelompok pro/anti isu tertentu sulit berdialog. - Melemahnya kemampuan berpikir kritis
Publik cenderung percaya pada informasi visual instan. - Dominasi narasi ekstrem
Konten moderat jarang viral. - Ruang publik yang tidak sehat
Hoaks, fitnah, dan misinformasi menjadi konten utama.
Apa yang Dapat Dilakukan?
1. Membangun Literasi Digital Tingkat Lanjut (Bukan Dasar)
Bukan hanya “jangan percaya hoaks”, tetapi:
- memahami cara kerja algoritma
- analisis bias media
- verifikasi sumber
- cara membaca data dan grafik
2. Memperkuat Media Arus Utama
Kualitas jurnalisme harus ditingkatkan sehingga masyarakat kembali memiliki rujukan tepercaya.
3. Kolaborasi Pemerintah – Platform – LSM
Pengurangan hoaks tidak bisa hanya dilakukan pemerintah; butuh ekosistem lintas aktor.
4. Edukasi Komunikasi Publik di Sekolah & Kampus
Indonesia butuh generasi yang mampu memproses informasi, bukan hanya mengonsumsinya.
Kesimpulan: Ruang Digital Mencerdaskan atau Menyimpangkan?
Masyarakat digital membawa perubahan positif dalam akses informasi.
Namun tanpa literasi dan struktur komunikasi yang sehat, ruang digital justru melahirkan:
- misinformasi
- banjir informasi
- polarisasi
- krisis otoritas
- degradasi kualitas opini publik
Sebagaimana dikatakan Dr. Henri Subiakto, “demokrasi digital hanya akan berkualitas jika warga digitalnya juga berkualitas.”
Tantangan kita bukan hanya menambah informasi, tetapi membangun ruang informasi yang dapat dipercaya, inklusif, dan sehat secara sosial.

Sumber & Referensi:
- BRIN, Information Overload and Digital Behavior (2024)
- Kominfo, Laporan Hoaks Nasional (2024)
- SAFEnet, Digital Rights Report Indonesia (2024)
- Katadata Insight Center, Indonesia Digital Trust Survey (2024)
- Pusat Kajian Komunikasi UI, Digital Communication Behavior (2024)
- Novi Kurnia, UGM, Media Digital & Ruang Publik Indonesia (2023)
