×

Pengaruh Modernisasi terhadap Struktur Sosial Pedesaan: Analisis Kritis Ekonomi-Digital di Indonesia

Pengaruh Modernisasi Digital terhadap Struktur Ekonomi Pedesaan di Indonesia

Pendahuluan: Janji Ekonomi Digital vs Realitas Desa Indonesia

Dalam satu dekade terakhir, modernisasi digital digadang-gadang sebagai solusi bagi pembangunan ekonomi pedesaan. Internet, smartphone, marketplace, dan aplikasi pertanian disebut mampu membuka peluang baru: petani menjual langsung, UMKM desa naik kelas, dan pasar lokal terhubung dengan kota bahkan dunia.

Namun realitasnya tidak sesederhana itu.

Menurut BRIN (2024), hanya sekitar 44% desa di Indonesia yang memiliki kualitas internet memadai untuk aktivitas ekonomi digital. Sementara itu, kesenjangan digital justru berpotensi menciptakan kelompok baru di desa:

  • mereka yang mampu memanfaatkan teknologi, dan
  • mereka yang tertinggal karena keterbatasan akses dan literasi.

Modernisasi dalam konteks ini bukan hanya soal kemajuan, tetapi juga soal ketidaksetaraan.


1. Ketimpangan Akses Internet: Masalah Paling Dasar

Akses internet masih menjadi hambatan utama ekonomi digital pedesaan.

Data Kementerian Desa PDTT 2024 menunjukkan:

  • 32% desa di Indonesia masih tergolong “blankspot”
  • hanya 48% UMKM desa yang memiliki akses internet stabil
  • kualitas internet di desa jauh lebih lambat dari wilayah perkotaan

Tanpa internet yang stabil, e-commerce, pembayaran digital, dan pemasaran online hanya menjadi slogan pembangunan.

Dampaknya terhadap struktur sosial-ekonomi desa:

  • pelaku ekonomi tradisional makin tertinggal
  • anak muda desa yang melek digital cenderung migrasi ke kota
  • jurang ekonomi antarwarga semakin melebar

Modernisasi digital akhirnya menciptakan kelas sosial baru di desa: “siapa yang terkoneksi vs siapa yang tidak”.


2. Kesenjangan Kemampuan Digital: Tidak Semua Warga Siap

Masalah kedua adalah literasi digital.
Tidak semua UMKM atau petani desa paham cara:

  • menggunakan aplikasi marketplace
  • membuat konten pemasaran
  • membaca data penjualan
  • menggunakan dompet digital
  • mengakses pelatihan online

Riset Bappenas 2024 menunjukkan bahwa:

  • 67% pelaku UMKM desa tidak terbiasa menggunakan aplikasi keuangan digital
  • 52% petani tidak paham sistem pertanian digital seperti e-commerce hasil panen

Akibatnya:

  • hanya sebagian kecil warga desa yang menikmati keuntungan ekonomi digital
  • pelaku ekonomi yang tidak melek teknologi tersisih
  • muncul dominasi kelompok muda sebagai “broker digital”

Modernisasi digital memperkuat hierarki sosial baru berbasis kemampuan teknologi.


3. Ketergantungan pada Platform Besar: Ekonomi Desa yang Tidak Berdaulat

Ini masalah besar yang jarang dibahas.

Ketika UMKM desa masuk ke marketplace besar seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, atau e-commerce lain, mereka terikat pada:

  • aturan algoritma platform
  • sistem komisi
  • promosi berbayar
  • ketentuan ongkir
  • perang harga nasional

Riset Katadata Insight Center (2023) menyebutkan:

“80% UMKM desa merasa tidak punya kontrol terhadap harga karena harus mengikuti standar marketplace.”

Ini berarti:

  • UMKM desa tidak bisa menentukan harga sesuai biaya produksi lokal
  • margin keuntungan makin kecil
  • kepentingan platform lebih besar dibanding kepentingan produsen kecil

Alih-alih menciptakan kemandirian ekonomi desa, modernisasi digital justru bisa menciptakan ketergantungan struktural baru.


4. Eksploitasi Harga dan Dominasi Pedagang Perantara Digital

Karena keterbatasan kemampuan digital, banyak produsen desa bergantung pada:

  • reseller kota
  • dropshipper
  • perantara digital
  • jastip (jasa titip)

Masalahnya, produsen desa sering:

  • hanya mendapat margin kecil
  • tidak mengerti harga pasar digital
  • tidak bisa menegosiasikan nilai produk

Contoh nyata adalah petani buah dan hasil kebun.
Harga yang dipajang di marketplace bisa 3–6 kali lipat dari harga yang diterima petani.

Digitalisasi tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan jika posisi tawar produsen tetap lemah dalam rantai pasok digital.


5. Ancaman Hilangnya Pasar Lokal dan Pedagang Tradisional

Masuknya e-commerce besar dan platform online menciptakan:

  • persaingan harga ekstrem
  • standardisasi produk
  • promosi besar-besaran yang sulit ditandingi pedagang pasar desa

Menurut survei Kementerian Perdagangan 2024, 41% pedagang pasar desa mengalami:

  • penurunan pembeli
  • persaingan harga tidak sehat
  • penurunan margin keuntungan

Ini memicu perubahan struktur ekonomi desa:

  • pasar fisik melemah
  • toko kelontong tergantikan oleh mini-market digital
  • nilai kebersamaan & interaksi sosial pasar ikut berkurang

Modernisasi digital mengubah pasar tradisional menjadi ruang yang tidak lagi kompetitif bagi pelaku lokal.


6. Pertanian Digital: Peluang Besar, Tantangan Lebih Besar

Pertanian digital digembar-gemborkan sebagai masa depan desa:

  • IoT pertanian
  • marketplace hasil pertanian
  • pemesanan pupuk online
  • precision farming
  • drone untuk pemantauan lahan

Namun di lapangan, tantangannya besar:

  • petani butuh pelatihan intensif
  • perangkat mahal
  • tidak semua daerah punya sinyal
  • hasil data sering tidak dipahami
  • penggunaan aplikasi tidak berkelanjutan

Menurut penelitian IPB University (2023):

  • hanya 25% aplikasi pertanian digital yang benar-benar digunakan lebih dari 6 bulan
  • mayoritas berhenti karena “tidak ada pendampingan jangka panjang”

Modernisasi digital dalam pertanian butuh ekosistem, bukan sekadar aplikasi.


7. Ketimpangan Digital Menghasilkan Ketimpangan Sosial

Modernisasi digital memunculkan “dua desa” dalam satu desa:

A) Desa yang terhubung internet (connected village)
B) Desa yang hidup di luar jangkauan digital (disconnected village)

Bahkan di desa yang sudah ada internet pun, warga terbelah menjadi:

  • yang melek digital
  • yang gagap teknologi

Keduanya menghasilkan stratifikasi sosial baru:

  • yang paham memanfaatkan pasar digital → naik kelas
  • yang tidak paham → tertinggal semakin jauh

Polarisasi ekonomi berbasis digitalisasi menjadi fenomena baru yang perlu perhatian serius.


Kesimpulan: Modernisasi Digital Tidak Selalu Menguntungkan Desa

Modernisasi digital membawa peluang, tapi dalam praktiknya:

  • memperlebar ketimpangan
  • menciptakan ketergantungan pada platform besar
  • melemahkan pasar lokal
  • memunculkan hierarki baru berbasis kemampuan digital
  • mengancam keberlanjutan ekonomi tradisional desa

Seperti kata Prof. Hermanto Siregar (IPB):
“Teknologi hanya bermanfaat jika desa punya kapasitas untuk menggunakannya. Jika tidak, teknologi justru memperlebar jarak antara yang mampu dan yang tertinggal.”

Modernisasi pedesaan harus selalu dibangun dari:

  • kesiapan digital
  • edukasi berkelanjutan
  • infrastruktur internet memadai
  • penguatan pasar lokal

Jika tidak, modernisasi hanya akan menjadi pembangunan yang timpang — menyisakan desa sebagai konsumen digital, bukan pelaku utamanya.


Sumber & Referensi:

  • BRIN, Digital Economy and Rural Inequality (2024)
  • Bappenas, Survei Literasi Digital UMKM Desa (2024)
  • Kementerian Desa PDTT, Peta Jaringan Internet Desa 2024
  • Katadata Insight Center, Indonesia Rural Digital Report 2023
  • IPB University, Evaluasi Inovasi Pertanian Digital (2023)
  • Kementerian Perdagangan, Digitalisasi Pasar Tradisional 2024