×

Studi Tentang Politik Identitas dan Polarisasi Sosial di Indonesia dalam Era Digital

Studi Tentang Politik Identitas dan Polarisasi Sosial di Indonesia dalam Era Digital

Pendahuluan: Ketika Algoritma Mengubah Cara Kita Berpolitik

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia mengalami perubahan besar dalam dinamika politik dan hubungan sosial.
Pertarungan identitas, konflik simbolik, dan polarisasi antarkelompok meningkat tajam terutama sejak 2014 hingga seterusnya. Namun, berbeda dengan era sebelumnya, polarisasi hari ini tidak terjadi terutama di ruang fisik—tetapi di ruang digital.

Menurut Dr. Damar Juniarto, Direktur SAFEnet, “media sosial bukan hanya ruang percakapan, tetapi ruang produksi identitas politik.”
Dalam konteks ini, politik identitas bukan lagi sekadar strategi elite, tetapi fenomena struktural yang diperkuat oleh algoritma, kecepatan informasi, dan perilaku digital masyarakat Indonesia.

Artikel ini membahas bagaimana media sosial, algoritma, echo chamber, dan hoaks membentuk sekaligus memperkuat politik identitas dan polarisasi sosial di Indonesia.


Konsep Politik Identitas di Indonesia

Politik identitas merujuk pada mobilisasi dukungan berbasis identitas kelompok: agama, etnis, kelas, atau nilai moral.
Indonesia yang sangat beragam secara sosial-budaya menjadi lahan subur bagi politik identitas, terutama ketika kontestasi elektoral berlangsung ketat.

Sosiolog Prof. Siti Musdah Mulia menyebut bahwa politik identitas “selalu ada dalam demokrasi, tapi menjadi berbahaya ketika dipersenjatai secara digital.”

Munculnya media sosial membuat politik identitas berkembang semakin cepat, semakin emosional, dan semakin sulit dikontrol.


Peran Media Sosial dalam Pembentukan Identitas Politik

Menurut data We Are Social Indonesia 2024, masyarakat Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam 6 menit per hari di media sosial.
Artinya, ruang digital telah menjadi arena utama pembentuk opini politik masyarakat.

Fungsi media sosial terkait politik identitas antara lain:

  1. Ruang ekspresi identitas – pengguna menampilkan pandangan politiknya di profil pribadi.
  2. Ruang afiliasi kelompok – orang merasa lebih aman bergabung dalam kelompok dengan pandangan yang sama.
  3. Ruang pertarungan narasi – isu identitas menjadi konten yang paling mudah viral karena bersifat emosional.

Di titik ini, media sosial bukan lagi sekadar platform komunikasi, tetapi arena pembentukan identitas politik digital.


Algoritma: Mesin Tak Terlihat yang Memperkuat Polarisasi

Facebook, TikTok, X, dan Instagram tidak hanya menampilkan konten. Mereka memilih konten untuk kita.

Algoritma bekerja dengan prinsip:
“Konten yang membuatmu betah adalah konten yang ditampilkan.”

Masalahnya, dalam politik identitas, konten paling menarik adalah konten yang:

  • memicu emosi marah, takut, atau bangga
  • menyerang kelompok lain
  • memperkuat narasi “kita vs mereka”

Menurut riset MIT Media Lab 2023, konten berlandas emosi negatif menyebar 6 kali lebih cepat dibanding informasi netral.

Di Indonesia, hal ini terlihat jelas saat kontestasi politik besar (2014, 2017, 2019).
Algoritma menjadi “mesin pembelah” karena membuat pengguna hanya melihat konten yang sesuai dengan preferensi politiknya.

Inilah titik masuk fenomena echo chamber.


Echo Chamber: Ketika Kita Hanya Mendengar Suara Kita Sendiri

Echo chamber adalah kondisi ketika seseorang hanya terpapar informasi yang memperkuat pandangan politiknya tanpa ruang untuk perspektif berbeda.

Menurut Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (2024), pengguna media sosial di Indonesia memiliki kecenderungan kuat untuk:

  • mem-follow akun yang sejalan ideologinya
  • memblokir atau membisukan akun berseberangan
  • hanya mempercayai sumber yang sesuai identitas kelompok

Hasilnya:

  • opini menjadi mengeras
  • empati terhadap kelompok lain berkurang
  • perbedaan politik berubah menjadi permusuhan personal

Echo chamber juga membuat narasi minoritas sulit masuk, karena algoritma selalu memprioritaskan konten populer dalam kelompok yang sama.


Hoaks Politik Identitas: Infrastruktur Polarisasi Digital

Menurut laporan Kominfo 2024, lebih dari 1.200 hoaks politik terdeteksi selama tahun politik, dengan pola dominan:

  1. menyerang identitas agama atau etnis
  2. memfitnah kelompok tertentu sebagai ancaman
  3. mengemas misinformasi dalam format visual (meme, video pendek)

Riset Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) menunjukkan bahwa:

  • 59% hoaks paling viral di Indonesia bernuansa politik identitas
  • mayoritas hoaks beredar di WhatsApp, TikTok, dan Facebook

Hoaks yang menyasar identitas biasanya lebih viral karena:

  • memicu emosi takut dan marah
  • memperkuat solidaritas internal kelompok
  • dianggap “harus dibagikan” demi membela kelompok sendiri

Dengan demikian, hoaks tidak hanya memanipulasi informasi, tetapi memperkeruh hubungan sosial di dunia nyata.


Ketika Polarisasi Digital Masuk ke Ruang Sosial Nyata

Polarisasi politik di media sosial tidak berhenti di layar.
Ia masuk ke:

  • lingkungan kerja
  • komunitas keagamaan
  • keluarga
  • grup WhatsApp
  • ruang kelas

Menurut survei LSI (2024):

  • 32% responden pernah bertengkar karena konten politik digital
  • 46% anak muda mengaku menahan pandangan politik demi menghindari konflik
  • 58% masyarakat merasa “lebih sensitif” terhadap isu identitas sejak media sosial digunakan secara masif di Indonesia

Fenomena ini menunjukkan bahwa polarisasi digital bertranslasi menjadi polarisasi sosial.


Mengapa Politik Identitas Sangat Efektif di Ruang Digital Indonesia?

Ada tiga alasan utama:

1. Demografi

Pengguna internet terbesar adalah generasi muda, yang sangat aktif secara emosional dalam isu identitas.

2. Kultur Kolektivistik

Ironisnya, masyarakat Indonesia sangat komunal, sehingga loyalitas kelompok sangat kuat.
Ketika identitas kelompok diserang, respons digital menjadi sangat reaktif.

3. Lanskap Media Digital yang Rentan

Manipulasi, bot politik, dan buzzer mudah muncul karena ekosistem digital kita belum transparan dan belum sepenuhnya diatur.

Hasilnya, politik identitas menjadi strategi paling mudah untuk memobilisasi dukungan — baik oleh elite politik maupun komunitas digital.


Dampak Sosial: Dari Polarisasi hingga Erosi Kepercayaan Publik

Fenomena politik identitas di ruang digital memiliki dampak jangka panjang:

  1. Menurunnya kualitas deliberasi publik
    Masyarakat lebih sibuk bertarung identitas daripada membahas solusi.
  2. Meningkatnya intoleransi dan stereotip
    Kelompok minoritas sering menjadi sasaran narasi disinformasi.
  3. Erosi kepercayaan terhadap lembaga demokrasi
    Hoaks merusak kepercayaan terhadap KPU, aparat, dan media mainstream.
  4. Fragmentasi sosial
    Masyarakat terbelah dalam kotak-kotak digital yang sulit dijembatani.

Menurut Prof. Novi Kurnia (UGM), “polarisasi digital adalah ancaman soft yang melemahkan demokrasi tanpa perlu kekerasan fisik.”


Jalan Keluar: Mengurangi Polarisasi tanpa Menekan Kebebasan Berekspresi

Ada beberapa langkah strategis untuk meredam politik identitas digital:

1. Literasi Digital Kritis

Tidak hanya mengajarkan “jangan percaya hoaks,” tetapi juga pemahaman:

  • bagaimana algoritma bekerja
  • apa itu framing
  • bagaimana echo chamber terbentuk

2. Desain Ulang Platform

Dorongan bagi platform sosial agar memberi ruang perspektif beragam, bukan hanya konten viral.

3. Kolaborasi Pemerintah–LSM–Platform

Untuk mengatasi hoaks tanpa membatasi kebebasan berpendapat.

4. Promosi Konten Dialog Antar-Kelompok

Konten inklusif terbukti menurunkan tensi polarisasi di level komunitas.

5. Etika Digital

Mendorong pengguna untuk menerapkan empati sebelum membagikan konten politik.


Kesimpulan: Membangun Indonesia yang Terkoneksi, Bukan Terbelah

Era digital membawa peluang sekaligus tantangan bagi demokrasi Indonesia.
Politik identitas bukan fenomena baru, tetapi media sosial mempercepat dan memperluas dampaknya hingga ke level mikro: keluarga, pertemanan, dan komunitas.

Polarisasi sosial bukan hanya masalah politik, tetapi masalah sosial, karena menyangkut relasi antarwarga.
Namun, dengan literasi digital yang lebih kuat, kebijakan publik yang tepat, dan desain platform yang lebih etis, Indonesia bisa membangun ruang digital yang lebih sehat.

Sebagaimana dikatakan Dr. Damar Juniarto,
“Demokrasi digital tidak harus membuat kita terbelah; ia harus membuat kita lebih memahami satu sama lain.”


Sumber & Referensi:

  • SAFEnet, Digital Rights and Democracy Report Indonesia 2024
  • Pusat Kajian Komunikasi UI, Perilaku Digital & Polarisasi Politik 2024
  • Kominfo, Laporan Hoaks Politik Nasional 2024
  • LSI, Survei Dampak Media Sosial terhadap Perilaku Sosial Politik (2024)
  • Novi Kurnia, UGM, Digital Media & Civic Engagement in Indonesia (2023)