×

Analisis Peran Lembaga Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia

Analisis Peran Lembaga Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia

Pendahuluan: Pilar Demokrasi yang Sering Terlupakan

Dalam sistem politik demokrasi, lembaga legislatif merupakan salah satu pilar utama selain eksekutif dan yudikatif.
Namun, di Indonesia, lembaga ini sering kali dipersepsikan negatif oleh publik karena isu korupsi, konflik kepentingan, dan rendahnya kepercayaan masyarakat.

Padahal, secara konstitusional, lembaga legislatif memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan kekuasaan (check and balance).
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, “tanpa lembaga legislatif yang kuat dan berintegritas, demokrasi hanya akan menjadi ritual elektoral tanpa makna substantif.”


Struktur dan Fungsi Lembaga Legislatif di Indonesia

Sistem ketatanegaraan Indonesia mengenal dua lembaga legislatif utama di tingkat nasional, yaitu:

  1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) – berperan sebagai pembentuk undang-undang dan pengawas pemerintah.
  2. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) – mewakili kepentingan daerah dalam proses legislasi.

Keduanya merupakan bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang memiliki fungsi amandemen UUD dan pelantikan presiden/wakil presiden.

Menurut Pasal 20 UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Sementara itu, Pasal 22D memberi DPD kewenangan terbatas dalam memberikan pertimbangan terhadap RUU terkait otonomi daerah dan hubungan pusat-daerah.

Artinya, lembaga legislatif Indonesia menganut sistem bikameral lemah — dua kamar, tetapi tidak setara dalam kekuasaan legislasi.


Fungsi Utama DPR: Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan

Secara konstitusional, DPR memiliki tiga fungsi utama:

1. Fungsi Legislasi

Menyusun dan membahas rancangan undang-undang (RUU) bersama Presiden.
Sayangnya, realisasi fungsi ini sering dikritik karena tumpang tindih agenda politik dan rendahnya partisipasi publik.

Menurut laporan Indeks Kinerja Legislatif 2024 (BRIN), hanya 38% RUU yang masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) berhasil disahkan tepat waktu.
Dr. Luthfi Widagdo, peneliti politik BRIN, menilai, “fungsi legislasi kita sering tersandera kepentingan koalisi, bukan kebutuhan rakyat.”


2. Fungsi Anggaran

DPR berperan menyetujui dan mengawasi penggunaan anggaran negara (APBN).
Kewenangan ini penting agar kebijakan fiskal berjalan transparan dan efisien.

Namun, korupsi anggaran dan politik uang sering mencederai fungsi ini.
Kasus seperti dana aspirasi dan bansos politik memperlihatkan masih lemahnya akuntabilitas fiskal legislatif.


3. Fungsi Pengawasan

Melalui hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat, DPR dapat meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Fungsi ini menjadi indikator utama sejauh mana lembaga legislatif mampu menjaga keseimbangan kekuasaan.

Dr. Ahmad Khoirul Umam (Universitas Paramadina) menilai, “pengawasan DPR terhadap pemerintah sering bersifat simbolik, bukan substantif.
Masih jarang pengawasan yang benar-benar menghasilkan kebijakan korektif.”


DPD dan Representasi Daerah: Antara Harapan dan Keterbatasan

Dibentuk melalui amandemen UUD 1945, DPD diharapkan menjadi jembatan antara pemerintah pusat dan daerah.
Namun, kewenangannya terbatas — hanya sebatas memberi masukan terhadap RUU tertentu tanpa hak veto atau inisiatif penuh.

Prof. Ni’matul Huda (Universitas Islam Indonesia) menyebut DPD sebagai “lembaga representasi daerah tanpa taring”.
Padahal, jika diperkuat, DPD bisa menjadi instrumen penting untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antarwilayah.

Menurut survei Kompas (2024), hanya 27% publik mengetahui peran DPD secara jelas, menandakan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap sistem perwakilan ganda Indonesia.


Lembaga Legislatif dan Hubungan Politik dengan Eksekutif

Hubungan DPR dan Presiden di Indonesia bersifat kooperatif tetapi penuh dinamika.
Dalam praktiknya, koalisi politik di parlemen sering membuat fungsi pengawasan DPR melemah karena dominasi partai pendukung pemerintah.

Fenomena ini menimbulkan apa yang disebut “parlemen yang terlalu ramah” (rubber stamp parliament) — lembaga legislatif yang lebih banyak menyetujui kebijakan eksekutif ketimbang mengoreksi.

Sosiolog politik Dr. Firman Noor (BRIN) menilai, “hubungan yang terlalu harmonis antara legislatif dan eksekutif berisiko mematikan prinsip check and balance yang menjadi dasar demokrasi.”


Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi

Demokrasi modern menuntut partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang.
Namun, di Indonesia, partisipasi ini masih bersifat formalitas — melalui uji publik atau konsultasi terbatas.

Riset YLBHI (2023) menunjukkan bahwa 60% masyarakat tidak pernah diundang atau dilibatkan dalam pembahasan RUU, termasuk yang berdampak langsung terhadap hak-hak warga.

Media digital sebenarnya membuka peluang besar bagi transparansi legislasi.
Portal DPR.go.id misalnya, telah menyediakan e-legislation platform untuk menampung aspirasi masyarakat.
Namun, efektivitasnya masih rendah karena rendahnya literasi hukum dan politik warga.


Tantangan Kelembagaan: Korupsi, Etika, dan Kepercayaan Publik

Kinerja legislatif Indonesia masih menghadapi tiga masalah klasik:

  1. Korupsi Politik
    Berdasarkan data ICW (Indonesia Corruption Watch, 2024), anggota DPR termasuk dalam tiga besar pelaku korupsi terbanyak di lembaga negara.
  2. Etika dan Disiplin Politik
    Kasus pelanggaran etik, absensi tinggi, hingga konflik kepentingan masih sering terjadi.
  3. Krisis Kepercayaan Publik
    Survei LSI (2024) menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 38%, jauh di bawah lembaga seperti TNI atau KPK.

Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, DPR dan DPD perlu memperkuat transparansi, integritas, dan komunikasi publik yang lebih terbuka.


Kesimpulan: Mengembalikan Marwah Legislatif dalam Demokrasi

Lembaga legislatif adalah jantung demokrasi.
Melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, ia seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan, bukan sekadar pelengkap.

Namun, tantangan seperti korupsi, lemahnya partisipasi publik, dan dominasi partai masih menghambat kinerja lembaga ini.

Sebagaimana ditegaskan Prof. Jimly Asshiddiqie, “reformasi hukum tidak akan berarti tanpa reformasi parlemen.”
Maka dari itu, penguatan kapasitas legislatif — melalui pendidikan politik, digitalisasi proses legislasi, dan etika publik — menjadi keharusan untuk menjaga kualitas demokrasi Indonesia.


Sumber & Referensi:

  • Prof. Jimly Asshiddiqie (UI), Hukum Tata Negara dan Demokrasi Indonesia (2023)
  • Dr. Firman Noor (BRIN), Parlemen dan Kekuasaan Politik di Indonesia (2024)
  • Luthfi Widagdo (BRIN), Evaluasi Kinerja Legislasi DPR (2024)
  • Kompas Research, Survei Persepsi Publik terhadap Lembaga Negara (2024)
  • Indonesia Corruption Watch (ICW), Laporan Korupsi Politik Nasional (2024)
  • YLBHI, Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi (2023)