×

Dampak Globalisasi terhadap Identitas Sosial dan Budaya Lokal

Dampak Globalisasi terhadap Identitas Sosial dan Budaya Lokal

Pendahuluan: Dunia Tanpa Batas dan Krisis Identitas

Globalisasi telah menghapus banyak batas — ekonomi, politik, dan budaya. Internet, perdagangan bebas, serta arus informasi global membuat dunia terasa tanpa jarak.
Namun, di balik kemajuan itu, muncul kekhawatiran: apakah identitas budaya lokal masih bisa bertahan?

Menurut Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, antropolog Universitas Gadjah Mada, “globalisasi mempertemukan perbedaan, tapi juga menimbulkan homogenisasi.”
Artinya, semakin banyak budaya lokal yang melebur menjadi satu gaya hidup global yang seragam — dari cara berpakaian, berbicara, hingga berpikir.


Konsep Globalisasi dan Identitas Sosial

Globalisasi bukan sekadar pertukaran ekonomi antarnegara, melainkan proses integrasi sosial-budaya global yang memengaruhi kehidupan masyarakat lokal.
Identitas sosial — yang terbentuk dari nilai, simbol, dan tradisi — kini dihadapkan pada arus budaya global yang serba cepat dan mudah diakses.

Menurut Anthony Giddens (1990), globalisasi adalah “intensifikasi hubungan sosial di seluruh dunia yang menghubungkan komunitas lokal dengan peristiwa global.”
Dalam konteks ini, masyarakat tidak lagi hidup dalam batas geografis, tapi dalam ruang sosial global di mana budaya asing bisa hadir hanya dengan satu klik.


Globalisasi dan Pergeseran Nilai Sosial

Salah satu dampak paling nyata dari globalisasi adalah pergeseran nilai sosial.
Nilai-nilai komunal seperti gotong royong, sopan santun, dan rasa kebersamaan mulai bergeser ke arah nilai individualistik dan materialistik.

Riset Balai Bahasa Kemendikbud (2024) menemukan bahwa remaja perkotaan kini lebih mengenal istilah asing dalam percakapan sehari-hari dibanding peribahasa lokal.
Hal ini menunjukkan bahwa identitas sosial generasi muda semakin dipengaruhi oleh budaya global.

Sosiolog Dr. Paulus Wirutomo (UI) menjelaskan, “nilai-nilai global membawa kemajuan, tapi juga membuat masyarakat kehilangan akar budaya.”
Fenomena ini sering disebut sebagai cultural disorientation — kehilangan arah dalam identitas budaya.


Budaya Populer Global dan Identitas Lokal

Budaya populer — seperti musik, film, dan fesyen — menjadi saluran utama penyebaran globalisasi budaya.
Gelombang Korean Wave (Hallyu) dan Western pop culture misalnya, telah membentuk selera baru di kalangan muda Indonesia.

Meskipun membawa dampak positif seperti inovasi dan keterbukaan, budaya global juga menimbulkan ketegangan identitas.
Generasi muda sering kali lebih bangga meniru gaya global daripada melestarikan budaya sendiri.

Namun, fenomena ini tidak sepenuhnya negatif.
Menurut Dr. Fadjar Ibnu Thufail (BRIN), “adaptasi budaya lokal terhadap budaya global bisa menciptakan bentuk baru yang dinamis — disebut glokalisasi.”
Contohnya, batik modern, kuliner fusion, dan festival lokal yang dikemas dengan gaya internasional adalah bukti bahwa budaya bisa beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.


Teknologi dan Media Sosial: Ruang Baru Pembentukan Identitas

Era digital mempercepat globalisasi budaya.
Media sosial seperti TikTok dan Instagram menjadi ruang baru di mana identitas sosial dibentuk dan ditampilkan.

Remaja Indonesia kini membangun identitas diri melalui algoritma global — mengikuti tren, gaya hidup, dan simbol yang sama dengan generasi muda di seluruh dunia.
Menurut riset Pusat Kajian Komunikasi UI (2023), 68% pengguna muda mengaku “lebih percaya diri mengekspresikan diri secara online daripada di dunia nyata.”

Fenomena ini menunjukkan bahwa identitas sosial kini bersifat cair dan fleksibel — tidak lagi ditentukan oleh asal-usul budaya, tetapi oleh narasi digital yang dibentuk di dunia maya.


Dampak terhadap Budaya Lokal dan Komunitas Tradisional

Bagi komunitas tradisional, globalisasi membawa tantangan serius.
Masuknya budaya global dapat mengikis praktik budaya yang diwariskan turun-temurun — dari bahasa daerah, kesenian, hingga adat istiadat.

UNESCO (2023) memperkirakan bahwa separuh bahasa daerah di dunia terancam punah pada akhir abad ini, termasuk beberapa bahasa di Indonesia bagian timur.
Di sisi lain, budaya lokal sering kali dianggap kuno dan tidak relevan oleh generasi muda yang tumbuh dalam arus global.

Namun, di banyak daerah, muncul gerakan balik: revitalisasi budaya.
Contohnya, komunitas adat di Bali dan Toraja kini memanfaatkan media digital untuk mempromosikan ritual dan kearifan lokal ke dunia internasional — membuktikan bahwa budaya lokal bisa bertahan dengan inovasi.


Pendidikan dan Peran Negara dalam Menjaga Identitas Budaya

Menjaga identitas sosial di era globalisasi membutuhkan strategi kebudayaan yang inklusif.
Pendidikan berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai lokal sekaligus membuka wawasan global.

Kemendikbudristek (2024) melalui program Profil Pelajar Pancasila mendorong siswa agar berkarakter global tapi berakar lokal.
Sementara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mempromosikan budaya daerah melalui digitalisasi konten budaya.

Prof. Melani Budianta (UI) menegaskan, “identitas lokal tidak harus bertentangan dengan globalisasi. Yang penting adalah kesadaran kritis untuk memilah dan mengolah pengaruh global sesuai nilai budaya sendiri.”


Menuju Keseimbangan antara Global dan Lokal

Globalisasi adalah keniscayaan yang tidak bisa dihentikan, tapi bisa diarahkan.
Kuncinya ada pada kesadaran budaya — bagaimana masyarakat mampu menyeleksi nilai global yang masuk tanpa kehilangan akar identitasnya.

Budaya lokal harus dilihat bukan sebagai warisan masa lalu, tapi sebagai modal sosial masa depan.
Melalui pendidikan, media, dan inovasi kreatif, Indonesia bisa membangun identitas ganda yang harmonis: global secara pengetahuan, lokal dalam karakter.

Sebagaimana dikatakan Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, “globalisasi adalah ujian bagi kearifan lokal. Siapa yang mampu menyesuaikan tanpa kehilangan jati diri, dialah pemenangnya.”


Sumber & Referensi:

  • Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra (UGM), Globalisasi dan Budaya Indonesia (2023)
  • Dr. Paulus Wirutomo (UI), Sosiologi Global dan Identitas Sosial (2024)
  • Dr. Fadjar Ibnu Thufail (BRIN), Budaya Lokal di Era Glokalisasi (2023)
  • UNESCO, World Heritage and Endangered Languages Report (2023)
  • Kemendikbudristek, Profil Pelajar Pancasila dan Pendidikan Karakter (2024)
  • Pusat Kajian Komunikasi UI, Digital Identity Among Indonesian Youth (2023)