×

Pengaruh Media Massa terhadap Persepsi Politik Masyarakat

Pengaruh Media Massa terhadap Persepsi Politik Masyarakat

Pendahuluan: Media sebagai Kekuatan Keempat

Di era modern, media massa bukan sekadar saluran informasi — ia telah menjadi aktor politik yang membentuk cara masyarakat memahami realitas.
Istilah “the fourth estate” atau “kekuatan keempat” menggambarkan posisi media yang mampu memengaruhi opini publik, bahkan menentukan arah kebijakan politik.

Menurut Prof. Eriyanto, pakar komunikasi Universitas Indonesia, “media tidak hanya memberitakan realitas, tapi juga membentuk realitas. Apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh publik.”
Pernyataan ini menegaskan peran media sebagai pembentuk persepsi politik dalam masyarakat demokratis.


Media Massa dan Persepsi Politik: Sebuah Hubungan Simbiotik

Persepsi politik masyarakat dibangun melalui dua jalur utama: pengalaman langsung dan paparan media.
Dalam masyarakat yang kompleks seperti Indonesia, sebagian besar pemahaman warga terhadap isu politik datang dari media — televisi, surat kabar, portal berita, dan media sosial.

Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2024) menunjukkan bahwa 76% masyarakat Indonesia mendapatkan informasi politik utama dari media digital, sedangkan hanya 18% dari pengalaman langsung atau diskusi tatap muka.
Artinya, media menjadi pintu utama dalam membentuk opini dan sikap politik warga negara.

Dr. Idi Subandy Ibrahim, dosen komunikasi Universitas Padjadjaran, menjelaskan bahwa “persepsi politik publik tidak netral — ia merupakan hasil dari konstruksi simbolik media. Setiap tayangan membawa bingkai tertentu.”


Teori Framing dan Agenda Setting dalam Media Politik

Dalam studi komunikasi politik, terdapat dua teori utama untuk menjelaskan bagaimana media membentuk persepsi masyarakat:

  1. Agenda Setting Theory
    Diperkenalkan oleh McCombs dan Shaw (1972), teori ini menyatakan bahwa media tidak menentukan apa yang harus dipikirkan orang, tetapi menentukan apa yang dipikirkan orang itu tentang.
    Dengan memilih isu tertentu untuk disorot, media membentuk agenda publik.
  2. Framing Theory
    Dikenalkan oleh Entman (1993), framing menjelaskan bagaimana media menonjolkan aspek tertentu dari realitas untuk memengaruhi interpretasi publik.
    Misalnya, pemberitaan tentang korupsi bisa dibingkai sebagai masalah moral, politik, atau ekonomi — tergantung sudut pandang redaksi.

Kedua teori ini membantu menjelaskan bagaimana media Indonesia sering kali memengaruhi sikap politik masyarakat, terutama menjelang pemilu.


Persepsi Politik di Era Media Digital

Digitalisasi media telah mengubah pola konsumsi informasi politik secara drastis.
Masyarakat kini tidak hanya menjadi penerima, tetapi juga produsen konten politik melalui media sosial.

Menurut Kominfo (2024), 92% pengguna internet di Indonesia mengakses konten politik melalui media sosial, terutama TikTok, YouTube, dan X (Twitter).
Fenomena ini menciptakan ruang publik baru yang cair, tetapi juga penuh risiko.

Dr. Damar Juniarto, Direktur SAFEnet, menilai bahwa “kebebasan digital tanpa literasi media menciptakan masyarakat yang rentan terhadap manipulasi informasi.”
Banyak pengguna lebih percaya pada konten viral dibanding berita resmi, sehingga persepsi politik sering kali dibentuk oleh emosi, bukan data.


Dampak Positif Media terhadap Kesadaran Politik

Meski sering dikritik, media massa juga memiliki peran penting dalam pendidikan politik masyarakat.
Melalui liputan debat kandidat, laporan investigatif, dan siaran publik, media meningkatkan transparansi dan partisipasi politik.

Studi Pusat Kajian Komunikasi UI (2023) menunjukkan bahwa 63% responden mengaku lebih memahami isu politik setelah menonton berita televisi dan membaca portal daring.
Artinya, media berkontribusi pada peningkatan literasi politik masyarakat, terutama di kalangan pemilih muda.

Selain itu, media juga berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan (watchdog).
Investigasi jurnalistik terhadap kasus korupsi, pelanggaran etika pejabat, atau penyalahgunaan dana publik merupakan bentuk nyata kontrol sosial media terhadap pemerintah.


Dampak Negatif: Polarisasi dan Disinformasi

Namun, media juga bisa menjadi sumber distorsi politik jika tidak dijalankan secara etis.
Kompetisi ekonomi dan kepentingan politik membuat sebagian media kehilangan netralitas.

Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI, 2024) menemukan bahwa menjelang Pemilu 2024, setidaknya 27% media daring menampilkan konten yang condong ke salah satu kandidat politik.
Fenomena ini memperkuat polarisasi sosial dan mengikis kepercayaan publik terhadap media arus utama.

Selain itu, media sosial memperparah masalah dengan mempercepat penyebaran hoaks.
Kementerian Kominfo mencatat lebih dari 1.200 hoaks politik beredar selama masa kampanye 2024, sebagian besar melalui aplikasi pesan pribadi.

Prof. Rhenald Kasali dari Universitas Indonesia menilai, “tantangan terbesar demokrasi digital bukan lagi kurangnya informasi, tapi banjir informasi palsu.”


Masyarakat dan Literasi Media Politik

Untuk menghadapi pengaruh media yang begitu besar, masyarakat perlu memiliki literasi media politik — kemampuan memahami, menilai, dan menyaring informasi.
Literasi ini tidak hanya soal mengenali berita palsu, tetapi juga memahami motif ekonomi dan ideologis di balik sebuah pemberitaan.

Pemerintah melalui program Gerakan Literasi Digital Nasional (Siberkreasi) dan lembaga pendidikan telah mulai mengajarkan cara berpikir kritis terhadap media.
Namun, menurut survei Katadata Insight Center (2024), hanya 38% masyarakat Indonesia yang mampu membedakan berita faktual dan opini secara konsisten.

Artinya, masih ada pekerjaan besar dalam membangun masyarakat yang melek politik dan media secara bersamaan.


Kesimpulan: Media, Politik, dan Masa Depan Demokrasi

Media massa adalah cermin sekaligus penggerak demokrasi.
Di satu sisi, ia membantu rakyat memahami politik; di sisi lain, ia bisa menjadi alat manipulasi opini jika tidak dijaga integritasnya.

Persepsi politik masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh bagaimana media membingkai realitas politik.
Oleh karena itu, penguatan etika jurnalistik, transparansi redaksi, dan pendidikan literasi media menjadi kunci menjaga kualitas demokrasi.

Sebagaimana dikatakan Prof. Eriyanto, “masa depan demokrasi tidak hanya bergantung pada pemilih cerdas, tapi juga pada media yang jujur.”


Sumber & Referensi:

  • Prof. Eriyanto (UI), Analisis Framing dan Media Politik Indonesia (2023)
  • Dr. Idi Subandy Ibrahim (Unpad), Komunikasi Politik dan Konstruksi Realitas (2022)
  • Lembaga Survei Indonesia (LSI), Persepsi Politik Publik Indonesia (2024)
  • AJI Indonesia, Indeks Kebebasan Pers dan Keberpihakan Media (2024)
  • Kominfo, Laporan Hoaks dan Literasi Digital Nasional (2024)
  • SAFEnet, Digital Rights Report Indonesia (2023)