Dampak Urbanisasi terhadap Ketimpangan Sosial di Indonesia
Pendahuluan: Arus Migrasi dan Ketimpangan Baru
Urbanisasi adalah salah satu fenomena sosial paling dominan di abad ke-21. Di Indonesia, perpindahan penduduk dari desa ke kota meningkat tajam sejak era industrialisasi dan modernisasi.
Namun, di balik pertumbuhan ekonomi perkotaan, muncul ketimpangan sosial yang semakin lebar antara kelompok kaya dan miskin, antara pusat dan pinggiran.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024), tingkat urbanisasi Indonesia telah mencapai 58%, dan diproyeksikan naik menjadi 70% pada 2045. Angka ini menandakan bahwa mayoritas masyarakat kini tinggal di wilayah urban — dengan segala peluang dan persoalannya.
Sosiolog Prof. Imam B. Prasodjo dari Universitas Indonesia menegaskan, “urbanisasi bukan hanya soal perpindahan fisik, tetapi juga transformasi sosial yang memengaruhi pola hidup, nilai, dan kesenjangan ekonomi.”
Urbanisasi dan Perubahan Struktur Sosial
Urbanisasi membawa perubahan besar dalam struktur sosial masyarakat. Di kota, hubungan antarindividu cenderung lebih rasional dan instrumental dibanding di desa yang lebih emosional dan kolektif.
Fenomena ini dijelaskan dalam teori klasik Ferdinand Tönnies, yang membedakan masyarakat Gemeinschaft (komunitas tradisional) dan Gesellschaft (masyarakat modern).
Dalam konteks Indonesia, migrasi besar-besaran dari desa ke kota menciptakan kelas sosial baru: kelas menengah urban yang dinamis, dan kelas pekerja informal yang rentan.
Menurut Kementerian PPN/Bappenas (2023), kontribusi sektor informal di perkotaan mencapai 57% dari total tenaga kerja, tetapi sebagian besar masih berpenghasilan di bawah UMR.
Ketimpangan Sosial di Kota-Kota Besar
Pertumbuhan ekonomi di kota tidak otomatis menurunkan kemiskinan. Faktanya, justru muncul ketimpangan sosial vertikal dan spasial.
Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, perbedaan kualitas hidup antara kawasan elite dan permukiman padat sangat mencolok.
Laporan BPS 2024 menunjukkan bahwa koefisien Gini Indonesia mencapai 0,388, meningkat dibanding 2022 (0,381). Angka ini menandakan ketimpangan pendapatan yang masih tinggi, terutama antara penduduk kota dan desa.
Dr. Arief Anshory Yusuf, ekonom dari Universitas Padjadjaran, menyebut fenomena ini sebagai “urban bias” — ketika kebijakan pembangunan lebih berpihak pada kota dan industri besar, sementara daerah pinggiran terpinggirkan.
Masalah Sosial Akibat Urbanisasi Cepat
Urbanisasi yang tidak terkendali menimbulkan berbagai masalah sosial:
- Kemiskinan Perkotaan
Banyak pendatang desa gagal beradaptasi di kota dan akhirnya hidup di sektor informal tanpa jaminan sosial.
World Bank (2024) mencatat sekitar 22 juta penduduk Indonesia masih tinggal di kawasan kumuh perkotaan. - Keterbatasan Hunian dan Infrastruktur
Ledakan populasi menekan kapasitas infrastruktur kota. Harga tanah dan rumah melonjak, memicu tumbuhnya kawasan padat tanpa izin. - Ketimpangan Akses Pendidikan dan Kesehatan
Warga berpenghasilan rendah sering kali tidak memiliki akses ke pendidikan dan layanan kesehatan yang layak, memperkuat siklus kemiskinan. - Masalah Lingkungan dan Sosial
Urbanisasi cepat meningkatkan polusi, kemacetan, dan kriminalitas.
Menurut KLHK (2024), tingkat polusi udara di Jabodetabek meningkat 14% dibanding lima tahun lalu, sebagian besar disebabkan oleh padatnya mobilitas penduduk.
Urbanisasi dan Dinamika Ekonomi Kota
Di sisi lain, urbanisasi juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Kota menjadi pusat inovasi, lapangan kerja, dan produktivitas. Namun, distribusi hasil pembangunan tidak merata.
Kelas menengah menikmati kemajuan, sementara kelas bawah semakin terpinggirkan.
Menurut Bank Indonesia (2024), 60% produk domestik bruto (PDB) nasional dihasilkan dari wilayah perkotaan.
Namun, pendapatan 20% kelompok terkaya mencapai lebih dari 45% total pendapatan nasional, sedangkan 40% kelompok terbawah hanya memperoleh 16%.
Sosiolog Dr. Siti Zuhro (BRIN) menilai, “tanpa pemerataan pembangunan, urbanisasi justru menciptakan polarisasi sosial — kota menjadi simbol kemajuan, tapi juga ketidakadilan.”
Dampak Sosial-Budaya: Hilangnya Kohesi dan Identitas Lokal
Selain dampak ekonomi, urbanisasi juga mengubah tatanan budaya masyarakat.
Di kota, hubungan sosial bersifat transaksional dan individualistis. Nilai-nilai gotong royong dan solidaritas tradisional melemah, tergantikan oleh logika pasar dan kompetisi.
Fenomena ini juga terlihat dalam penelitian Universitas Gadjah Mada (UGM, 2023) yang menyebut bahwa masyarakat urban cenderung mengalami “defisit sosial” — kurangnya interaksi bermakna antarwarga karena tekanan ekonomi dan gaya hidup cepat.
Kondisi ini menimbulkan alienasi sosial (keterasingan) yang berdampak pada kesehatan mental masyarakat perkotaan.
Upaya Mengurangi Ketimpangan Sosial Akibat Urbanisasi
Untuk mengatasi dampak urbanisasi terhadap ketimpangan sosial, diperlukan pendekatan kebijakan yang komprehensif:
- Pemerataan Pembangunan Antarwilayah
Pemerintah perlu memperkuat investasi di daerah agar masyarakat tidak perlu bermigrasi ke kota besar untuk mencari penghidupan.
Program seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi strategi desentralisasi ekonomi. - Penguatan Kebijakan Perumahan dan Transportasi Publik
Penyediaan hunian layak dan transportasi efisien bisa menekan kesenjangan spasial dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat kelas bawah. - Revitalisasi Pendidikan dan Kewirausahaan Lokal
Mendorong masyarakat desa agar mampu membangun ekonomi berbasis lokal, seperti agrowisata dan industri kreatif desa. - Kebijakan Sosial Inklusif
Pemerintah perlu memastikan jaminan sosial bagi pekerja informal urban, termasuk BPJS Ketenagakerjaan dan akses kredit mikro.
Kesimpulan: Menata Kembali Keadilan Sosial di Era Urban
Urbanisasi adalah keniscayaan dari kemajuan modernitas, tetapi juga ujian bagi keadilan sosial.
Pertumbuhan kota yang cepat menimbulkan paradoks: kemajuan di satu sisi, ketimpangan di sisi lain.
Tanpa kebijakan pemerataan yang kuat, kota-kota Indonesia berisiko menjadi ruang eksklusif bagi segelintir elite.
Sebagaimana diingatkan Prof. Imam Prasodjo, “urbanisasi seharusnya menjadi jalan menuju kemajuan bersama, bukan hanya tempat menumpuknya kesenjangan.”
Maka dari itu, tantangan terbesar Indonesia bukan menghentikan urbanisasi, tetapi menjadikannya inklusif, berkeadilan, dan manusiawi.

Sumber & Referensi:
- Badan Pusat Statistik (BPS), Indikator Kesejahteraan Rakyat (2024)
- Kementerian PPN/Bappenas, Laporan Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan (2023)
- Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia (2024)
- KLHK, Data Polusi Udara Perkotaan (2024)
- Dr. Arief Anshory Yusuf (Unpad), Urban Bias dan Ketimpangan Sosial (2023)
- Prof. Imam Prasodjo (UI), Transformasi Sosial di Era Urbanisasi (2024)