×

Analisis Perilaku Pemilih pada Pemilu Serentak di Indonesia

Demokrasi dan Tantangan Konsolidasi Politik di Negara Berkembang

Pendahuluan: Fenomena Baru dalam Demokrasi Elektoral

Pemilu serentak di Indonesia — pertama kali diselenggarakan pada 2019 — menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi nasional. Sistem ini menggabungkan pemilihan legislatif dan eksekutif dalam satu waktu, menciptakan tantangan baru baik bagi penyelenggara maupun pemilih.

Di era media sosial dan politik digital, perilaku pemilih kini tak lagi bisa dijelaskan hanya dengan loyalitas partai atau faktor ekonomi. Ia telah berevolusi menjadi fenomena kompleks yang melibatkan psikologi, budaya, dan teknologi informasi.

Menurut Dr. Burhanuddin Muhtadi, peneliti politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), “Pemilu serentak mengubah cara masyarakat berpikir dan memilih. Identitas politik, emosi, dan informasi digital kini menjadi variabel utama perilaku pemilih.”


Memahami Perilaku Pemilih: Perspektif Sosiologis dan Psikologis

Perilaku pemilih merupakan pola keputusan individu dalam menentukan pilihan politik. Dalam kajian sosiologi politik, perilaku ini dipengaruhi oleh faktor sosial (kelas, agama, pendidikan), psikologis (identitas, afiliasi), dan situasional (isu dan kandidat).

Prof. Miriam Budiardjo, dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik, menjelaskan bahwa perilaku pemilih mencerminkan dinamika hubungan antara individu dan sistem politik. Artinya, bagaimana seseorang melihat pemerintah, calon pemimpin, dan arah kebijakan akan sangat menentukan pilihan politiknya.


Pemilih Rasional, Emosional, dan Identitas

Para peneliti sering membagi pemilih ke dalam tiga tipe utama:

  1. Pemilih Rasional, yang mempertimbangkan program dan rekam jejak kandidat.
  2. Pemilih Emosional, yang lebih terpengaruh oleh citra, simbol, dan sentimen sosial.
  3. Pemilih Identitas, yang menentukan pilihan berdasarkan kesamaan agama, etnis, atau daerah.

Riset Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan bahwa 46% pemilih muda memilih kandidat berdasarkan citra dan gaya komunikasi, bukan program kerja. Sementara itu, hanya 29% yang mempertimbangkan rekam jejak secara rasional.

Fenomena ini menandakan bahwa faktor psikologis dan simbolik masih sangat kuat dalam perilaku pemilih di Indonesia.


Pengaruh Media Sosial terhadap Perilaku Pemilih

Media sosial kini menjadi arena utama pertarungan politik. Kampanye digital telah menggantikan metode konvensional seperti baliho dan rapat umum.
Menurut Kominfo (2024), 92% pengguna internet di Indonesia terpapar konten politik selama masa kampanye Pemilu 2024. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi ruang baru bagi pembentukan opini politik.

Dr. Eko Prasetyo dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan bahwa algoritma media sosial memperkuat polarisasi politik. “Pemilih hanya terpapar informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri, menciptakan ruang gema (echo chamber) yang mempersempit dialog publik,” ujarnya dalam seminar Politik Digital di Asia Tenggara (2023).

Hal ini menunjukkan bahwa perilaku pemilih di era digital tidak hanya dipengaruhi oleh isi pesan politik, tetapi juga oleh mekanisme teknologi di baliknya.


Pemilih Muda dan Demokrasi Digital

Generasi muda — terutama pemilih Gen Z dan milenial — kini menjadi penentu utama hasil pemilu. Berdasarkan data KPU (Komisi Pemilihan Umum, 2024), 56% dari total pemilih berusia di bawah 40 tahun.
Namun, karakteristik mereka berbeda dari generasi sebelumnya: kritis, digital-savvy, tapi sering apatis terhadap politik formal.

Dr. Devi Asmarani, pengamat sosial Universitas Indonesia, menilai bahwa “pemilih muda lebih mengutamakan isu gaya hidup, lingkungan, dan transparansi, bukan ideologi politik.”
Hal ini menyebabkan munculnya perilaku politik pragmatis — pemilih memilih berdasarkan “siapa yang paling relatable,” bukan siapa yang paling ideologis.


Dampak Sistem Pemilu Serentak terhadap Perilaku Pemilih

Pemilu serentak memunculkan beban kognitif bagi pemilih. Dalam satu hari, mereka harus memilih presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2023) menunjukkan bahwa banyak pemilih mengalami kebingungan saat mencoblos karena jumlah kandidat yang terlalu banyak.

Akibatnya, perilaku pemilih cenderung:

  • Mengandalkan cue visual seperti logo partai atau nomor urut.
  • Mengikuti pilihan tokoh lokal atau figur publik.
  • Memilih berdasarkan rekomendasi media sosial atau keluarga.

Sosiolog politik Dr. Firman Noor (BRIN) menyebut hal ini sebagai “efek kompleksitas elektoral” — di mana terlalu banyak pilihan justru menurunkan kualitas keputusan politik.


Polarisasi Politik dan Perubahan Perilaku Sosial

Pemilu serentak juga memperkuat polarisasi politik di tingkat masyarakat. Persaingan antarpendukung sering meluas menjadi konflik sosial di dunia nyata maupun digital.
Menurut laporan Setara Institute (2024), lebih dari 60% percakapan politik di media sosial selama kampanye mengandung sentimen negatif.

Fenomena ini menunjukkan adanya perubahan sosial dalam cara masyarakat mengekspresikan identitas politik. Jika dulu diskusi politik bersifat terbatas dan sopan, kini ekspresinya lebih terbuka, emosional, dan bahkan konfrontatif.


Upaya Memperkuat Rasionalitas Pemilih

Untuk memperkuat demokrasi, perilaku pemilih harus didorong menuju rasionalitas politik. Ada beberapa langkah penting:

  1. Pendidikan Politik di Sekolah dan Kampus
    Materi literasi politik seharusnya diperkenalkan sejak SMA dan perguruan tinggi agar generasi muda memahami proses demokrasi secara substansial.
  2. Transparansi dan Akses Data Publik
    Lembaga seperti KPU dan Bawaslu perlu meningkatkan akses terhadap data kandidat, laporan dana kampanye, dan hasil rekapitulasi yang mudah dipahami publik.
  3. Kampanye Digital Berbasis Etika
    Partai politik perlu menyesuaikan strategi komunikasi agar lebih edukatif dan bebas dari hoaks.

Menurut Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, “Pemilih rasional tidak lahir dengan sendirinya, melainkan dibentuk melalui pendidikan politik yang berkelanjutan.”


Kesimpulan: Menuju Pemilih Kritis dan Demokrasi Substantif

Perilaku pemilih pada pemilu serentak di Indonesia adalah refleksi dari dinamika sosial yang kompleks.
Teknologi digital memperluas partisipasi, tapi juga menimbulkan tantangan baru: disinformasi, politik identitas, dan pragmatisme politik.

Demokrasi Indonesia akan semakin matang bila pemilih tidak hanya aktif secara elektoral, tetapi juga kritis terhadap proses dan kebijakan yang dihasilkan.
Sebagaimana dikatakan Prof. Firman Noor, “demokrasi sejati bukan sekadar tentang siapa yang menang, tapi bagaimana rakyat memahami arti dari memilih.”


Sumber & Referensi:

  • Komisi Pemilihan Umum (KPU), Laporan Pemilu Serentak Nasional (2024)
  • Lembaga Survei Indonesia (LSI), Tren Perilaku Pemilih Muda (2024)
  • Indikator Politik Indonesia, Survei Nasional Perilaku Pemilih (2024)
  • Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Studi Pemilu Serentak dan Kompleksitas Elektoral (2023)
  • Setara Institute, Media Sosial dan Polarisasi Politik Indonesia (2024)
  • Titi Anggraini, Pendidikan Politik untuk Demokrasi Substantif (2023)